Daftar Isi
Di tengah pusaran isu investasi asing dan hak masyarakat lokal, Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman bersiap untuk sebuah pertemuan krusial dengan Xinyi Group—perusahaan asal China yang berencana membangun pabrik pengolahan pasir silika di kawasan Rempang Eco City. Namun, kunjungan ini bukan sekadar urusan bisnis semata. Di balik meja negosiasi, ada pertaruhan yang lebih besar: masa depan ribuan warga Pulau Rempang, keberlanjutan ekologi, dan citra Indonesia sebagai destinasi investasi yang berkeadilan sosial.
Iftitah menegaskan bahwa agenda utamanya adalah memverifikasi komitmen Xinyi Group sekaligus memastikan bahwa proyek ini tidak mengorbankan hak-hak masyarakat setempat. “Jika tak ada investasi, kenapa harus ada relokasi?” ujarnya, menyiratkan bahwa pembangunan harus sejalan dengan prinsip inklusivitas.
Profil Iftitah Sulaiman dan Latar Belakang Proyek Rempang Eco City
Berikut adalah informasi kunci tentang sosok Iftitah Sulaiman dan konteks proyek yang sedang menjadi sorotan:
Aspek | Detail |
---|---|
Nama Lengkap | Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara |
Jabatan | Menteri Transmigrasi Republik Indonesia |
Afiliasi Politik | Partai Demokrat |
Fokus Kebijakan | Transmigrasi berbasis kesejahteraan, pembangunan berkelanjutan |
Proyek Terkini | Rempang Eco City (investasi Xinyi Group) |
Pendekatan | Dialog langsung dengan masyarakat, verifikasi investasi |
Sumber Resmi | Kementerian Transmigrasi RI |
Investasi vs. Keadilan Sosial: Dilema di Balik Rempang Eco City
1. Mengapa Pertemuan dengan Xinyi Group Begitu Penting?
Xinyi Group—perusahaan kaca dan material konstruksi terkemuka asal China—berencana menanamkan modal senilai Rp 150 triliun untuk membangun pabrik pasir silika di Rempang. Proyek ini digadang-gadang sebagai bagian dari Rempang Eco City, kawasan industri hijau yang diharapkan menyerap 35.000 tenaga kerja.
Namun, menurut Iftitah, pemerintah tidak boleh tergesa-gesa menyetujui investasi tanpa memastikan tiga hal:
- Kejelasan komitmen finansial Xinyi Group
- Dampak ekologis jangka panjang
- Skema perlindungan bagi masyarakat lokal
“Kita tidak ingin mengulang kesalahan seperti kasus Batang Toru atau Weda Bay, di mana investasi justru memicu konflik agraria,” tegasnya.
2. Masyarakat Rempang: Antara Transmigrasi dan Hak Turun-Temurun
Pulau Rempang bukanlah tanah kosong. Keluarga seperti Sana Rio telah menghuni wilayah ini selama tiga generasi, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Nelayan setempat seperti Subhandi menolak relokasi karena mata pencaharian mereka bergantung pada laut.
Tuntutan utama warga:
- Legalisasi hak atas tanah adat
- Jika harus pindah, skema transmigrasi harus disertai jaminan peningkatan kualitas hidup
- Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Iftitah merespons dengan pendekatan “transmigrasi humanis”, menekankan bahwa relokasi bukan sekadar memindahkan orang, tapi memastikan mereka hidup lebih sejahtera.
3. Diplomasi Investasi di Era Prabowo: Efisiensi vs. Kepastian Hukum
Pemerintah baru sedang berusaha mengurangi belanja perjalanan dinas luar negeri, tetapi Iftitah bersikukuh bahwa pertemuan dengan Xinyi Group adalah prioritas. “Saya akan meminta persetujuan Presiden Prabowo. Ini bukan sekadar kunjungan bisnis, tapi misi verifikasi,” katanya.
Hal ini mencerminkan kebijakan investasi Prabowo yang pro-pasar namun tetap kritis, terutama dalam proyek strategis yang melibatkan asing.
Jalan Tengah yang Dicari: Solusi atau Ilusi?
Iftitah mengajukan beberapa opsi kompromi:
- Transmigrasi berbasis konsensus: Warga boleh memilih antara tetap di Rempang dengan skema legalisasi atau pindah ke Tanjung Banun dengan paket bantuan ekonomi.
- Kemitraan industri-lokal: Xinyi Group diharapkan melibatkan masyarakat dalam rantai pasok proyek, misalnya sebagai penyedia jasa logistik atau tenaga kerja terlatih.
- Pemantauan ketat oleh LSM dan akademisi untuk memastikan transparansi.
“Tidak ada formula ajaib untuk kesejahteraan instan. Butuh kolaborasi semua pihak,” ujar Iftitah.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Ini?
- Investasi Asing Bukan Solusi Tunggal
Proyek seperti Rempang Eco City harus diseimbangkan dengan kajian sosial-ekologis mendalam. - Transmigrasi Modern Harus Partisipatif
Model lama “pemerintah tahu segalanya” sudah tidak relevan. - Diplomasi Ekonomi Memerlukan Kejelian
Pertemuan dengan Xinyi Group adalah ujian bagi Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan nasional tanpa takut dianggap “anti-investasi”.
Kesimpulan: Ujian Bagi Pembangunan yang Berkeadilan
Kunjungan Iftitah ke Xinyi Group bukan sekadar urusan teknis, tapi ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo dalam mewujudkan janji “investasi inklusif”. Seperti kata Iftitah, “Pembangunan tanpa keadilan ibarat rumah di atas pasir—megah hari ini, runtuh esok hari.”