Daftar Isi
Di jantung Sulawesi Selatan, sebuah pergulatan antara tradisi dan otoritas agama sedang berlangsung—dan ceritanya lebih kompleks daripada sekadar “aliran sesat”. Tarekat Ana Loloa, kelompok spiritual yang dipimpin oleh Petta Bau, telah memicu perdebatan sengit. Bagi sebagian orang, ini tentang penjagaan kemurnian agama. Bagi yang lain, ini adalah kisah klasik tentang manusia biasa yang mencari makna dalam dunia yang semakin rumit.
Profil Petta Bau: Wanita yang Mengguncang Maros
Informasi | Detail |
---|---|
Nama | Petta Bau (nama samaran) |
Lokasi | Maros, Sulawesi Selatan |
Klaim Spiritual | – Menambah rukun Islam dari 5 menjadi 11 – Haji wajib di Gunung Bawakaraeng |
Sumber Ajaran | Mimpi & interaksi dengan “Nabi Khidir” |
Pendidikan | Minim literasi agama, tetapi memiliki pengikut yang loyal |
Perkembangan Terkini | Masih aktif secara diam-diam sejak Oktober 2024 |
Sumber Resmi | Kementerian Agama RI |
Mengapa Tarekat Ini Menjadi Sorotan?
Dalam beberapa bulan terakhir, Tarekat Ana Loloa telah “menarik perhatian bukan hanya dari otoritas agama, tetapi juga antropolog dan pemerhati sosial”. Beberapa poin yang membuatnya unik:
Penambahan Rukun Islam: Sebuah Penyimpangan atau Inovasi?
Petta Bau memperkenalkan 11 rukun, termasuk ritual khusus di Gunung Bawakaraeng.
“Ini bukan pertama kalinya praktik lokal berbaur dengan Islam,” jelas Dr. Ahmad Syarif, antropolog dari Universitas Hasanuddin. “Tapi ketika struktur dasar agama diubah, otoritas keagamaan pasti bereaksi.”
Gunung Bawakaraeng: Tempat Suci atau Simbol Perlawanan?
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, gunung ini “bukan sekadar tanah, melainkan bagian dari identitas”.
“Dengan menjadikannya kiblat haji alternatif, Petta Bau sedang bermain dengan narasi yang sangat emosional,” tambah Syarif.
Mimpi sebagai Sumber Wahyu: Bisakah Diterima?
Petta Bau mengaku mendapat petunjuk melalui mimpi—sebuah klaim yang “sulit diverifikasi, tetapi sangat kuat secara psikologis”.
“Sejarah agama dipenuhi oleh tokoh yang mengaku dapat wahyu lewat mimpi,” kata seorang sejarawan agama. “Pertanyaannya adalah: sejauh mana masyarakat modern masih percaya?”
Respons Pemerintah: Antara Pelarangan dan Pendekatan Edukatif
Sejak Oktober 2024, Kementerian Agama telah “mengambil langkah sigap”, tetapi tidak serta-merta membubarkan kelompok ini. Beberapa tindakan yang dilakukan:
✔ Pembinaan Intensif – Petta Bau sempat berjanji menghentikan ajarannya, tetapi diam-diam melanjutkan.
âś” Pembentukan Satgas Khusus – Tim ini bertugas “mendeteksi potensi konflik sebelum meledak”.
âś” Kolaborasi dengan Tokoh Adat – “Kita tidak bisa hanya melarang. Kita harus berdialog,” tegas Arsad Hidayat dari Kemenag.
Langkah-langkah ini patut diapresiasi, tetapi tantangan terbesar tetap ada: bagaimana merangkul pengikut Petta Bau tanpa mengorbankan prinsip agama mainstream?
Apa yang Bisa Dipelajari dari Fenomena Ini?
Di balik kontroversi, Tarekat Ana Loloa menyimpan pelajaran berharga:
🔹 Spiritualitas Lokal Tidak Bisa Diabaikan – Masyarakat Indonesia, terutama di daerah, seringkali “memadukan Islam dengan kepercayaan leluhur”. Daripada menyalahkan, lebih baik “memahami dulu akar kulturalnya”.
🔹 Pendidikan Agama Harus Lebih Inklusif – “Jika Petta Bau bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar, mungkin ceritanya akan berbeda,” ujar seorang guru madrasah di Maros.
🔹 Perlunya Pendekatan Empatik – “Larangan tanpa solusi hanya akan membuat kelompok seperti ini bergerak di bawah tanah,” tandas aktivis LSM setempat.
Apa Langkah Selanjutnya?
Kita berada di persimpangan menarik. Daripada terjebak dalam debat “sesat atau tidak”, mungkin inilah saatnya untuk:
âś… Memperkuat literasi agama di daerah terpencil.
âś… Melibatkan tokoh adat dalam dialog antariman.
âś… Menciptakan ruang bagi spiritualitas yang tidak mengancam harmoni sosial.
“Agama seharusnya mempersatukan, bukan memecah belah,” begitulah pesan sederhana yang bisa kita ambil dari kisah Petta Bau dan Tarekat Ana Loloa.